Di suatu malam selepas hujan,
Ibu, Ayah, adek dan aku sedang duduk-duduk santai di teras depan rumah. Karena hujan
yang mengguyur sepanjang siang tadi, udara jadi terasa dingin yang membuat
perut jadi keroncongan.
Dari kejauhan terdengar suara ting...
ting... ting... suara tukang soto madura keliling yang biasa lewat depan rumah.
Aku bergegas keluar rumah mencari asal suara itu, ternyata masih jauh di ujung
gang sana. Aku panggil saja, soto... soto sambil bertepuk tangan. Si Pak Lek soto
akhirnya mendekat dan berhenti di depan rumah. Aku memesan 4 mangkok soto
madura komplit.
Selesai makan, lalu aku
kembalikan mangkok Pak Lek soto dan membayarnya...
Ketika membayar aku melihat Pak
Lek memisah-misahkan uang yang diterimanya, ada yang disimpan dalam dompet, ada
yang dalam laci rombong sotonya, dan satu lagi di simpan dalam celengan kaleng
bekas biskuit. Melihat hal itu cukup mengganggu pikiranku, lalu aku beranikan
bertanya untuk mengobati rasa penasaranku.
“Pak Lek, kenapa uang njenengan
dipisah-pisah gitu?” tanyaku menyelidik. “Ngge mbk, Pak Lek sudah mulai
memisahkan uang-uang itu dari 15 tahun yang lalu, sejak pertama jualan soto.
Tujuannya sederhana mbk, hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Pak Lek
dan keluarga dan mana yang jadi kewajiban, serta mana yang jadi hak orang lain.
Kan di dalam harta yang kita miliki itu terdapat hak orang lain yang dititipkan
kepada kita.” jelas Pak Lek soto
“Maaf, saya kurang faham maksud
njenengan...?” saya melanjutkan bertanya
“Ngge mbk, kan Allah menganjurkan
kita untuk sedekah berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Makanya saya
memisahkan uang saya menjadi 3 bagian itu
Bagian yang pertama, uang yang
masuk dompet saya, maksudnya ya buat memenuhi kebutuhan pribadi saya dan
keluarga, seperti untuk makan sehari-hari dan untuk biaya sekolah anak saya.
Trus bagian kedua, uang yang
masuk ke laci rombong saya sisihkan untuk bersedekah berbagi kepada yang
membutuhkan dan sisanya saya celengi buat ikut qurban mbk. Meskipun
sedikit-sedikit saya kumpulkan, lama-lama syukur-syukur bisa buat beli kambing.
Dan yang saya masukkan celengan
ini buat tabungan, nanti kalau uangnya sudah cukup, mau tak pakai daftar haji
mbk. Karena saya ingin menyempurnakan rukun Islam kelima yaitu pergi haji ke
Baitullah bagi yang mampu. Ibadah haji kan tentu butuh biaya besar. Makanya Pak
Lek bilang dlu ke Bu Lek mau nyelengi dikit-dikit dan Bu Lek setuju bahwa sebagian
hasil penjualan soto kita celengi disini sebagai tabungan buat haji. Insya Allah
5 Tahun lagi Pak Lek dan Bu Lek mau pergi
haji.”
Aku tercengang mendengar
penjelasan Pak Lek soto. Subhanallah, terlantun tasbih dalam hati. Sungguh
sebuah jawaban yang mulia yang diluar dugaan. Kita mungkin memiliki nasib yang
lebih baik dari Pak Lek soto tadi, tapi belum tentu memiliki pikiran semulia
dan punya rencana seindah seperti rencana Pak Lek itu. Kita sering kali berlindung
dibalik kata belum mampu dan belum ada rejeki.
“Rencana itu memang indah dan
mulia pak lek, tapi kan haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk mampu
dalam urusan biaya...?” tanyaku lebih lanjut
Beliau menjawab, “Yaitulah mbk,
saya jadi malu kalau bicara tentang mampu dan tidak mampu ini. Karena definisi
mampu itu bukan haknya orang yang kaya dan memiliki banyak uang saja. Melainkan
mampu itu sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan dalam mengartikannya
sendiri, bila kita menganggap diri sebagai orang tidak mampu, maka selamanya
kita akan jadi orang yang tidak mampu. Sebaliknya jika kita menganggap diri
kita “mampu”, maka insya Allah dengan izinNya Allah akan mampukan kita.
Masya Allah, sebuah jawaban yang
indah dan penuh keyakinan dari seorang tukang soto keliling.
Dari bapak tukang soto tadi, kita
dapat belajar bila kita yakin mampu, maka Allah akan mampukan kita. Allah
sesuai dengan persangkaan hambaNya. Kalau kita yakin terus kita berusaha
diiringi doa. Insya Allah suatu saat kita akan sampai pada tujuan kita dengan
izinNya.
Keep Huznudhon ilallah, yakin dan
bersungguh-sungguhlah :)
Semoga bermanfaat
Cahaya Fitria untuk #30DWC10
240216