Kamis, 03 Maret 2016

Belajar dari Kisah Inspiratif "Catatan Seorang Bapak Di Masa Tuanya"


Perjuangan #30DayWritingChallenge telah sampai setengah perjalanan. Dalam tulisan hari ke 18 ini, saya ingin berbagi sebuah kisah inspiratif yang saya dapat dari seorang teman, semoga dapat dijadikan renungan dan pembelajaran.

Selamat membaca

Seorang bapak kira-kira usia 65 tahun sedang duduk sendiri di sebuah lounge bandara menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogjakarta. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Beberapa menit kemudian beliau menyapa saya.

 “Dik, mau ke Jogja juga?”
“Saya mau ke Blitar lewat Malang, Pak. Bapak mau ke Jogja?”
“Iya.” Jawab bapak tua itu.
“Bapak sendiri?”
“Iya,” dengan senyum yang datar sambil menghela nafas panjang. “Dik, kerja dimana?”
“Saya serabutan, Pak.” Sahut saya sekenanya.
“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum.
“Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”
Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”
Ia pun mengisahkan, bahwa istrinya telah meninggal setahun yang lalu. Beliau memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja di Amsterdam. Yang bungsu sedang menempuh pendidikan S2 di USA.
Ketika beliau berkisah tentang rumah mewahnya di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, ditemani seorang satpam, 2 orang pembantu dan seorang sopir pribadinya, ia menyeka air  matanya dengan tisue.
“Dik, jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar sejak muda, kini hanyalah sia-sia. Tiada guna lagi dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apalagi. Saya sadar semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit dan duit, sampai-sampai lalai mendidik anak dengan ilmu agama, ibadah, silaturahim dan berbakti pada orang tua. Hal yang paling menyesakkan dada saat istri saya akan meninggal dunia karena kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS mengabarkan tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya di Swedia. Sibuk, iya sibuk sekali...
Sementara si bungsu mengabari bahwa sedang ada ujian mid-test di kampusnya sehingga tidak bisa pulang juga...”
“Pak, yang sabar yaa...,” tidak ada kata lain yang bisa saya ucapkan saat itu.
Ia tersenyum kecut. “Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik... Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni Sangkan Paraning Dumadi, bukan materi sebanyak apapun, tapi dari mana dan hendak kemana kita akhirnya. Saya yakin hanya dari Allahdan kepadaNyalah akan kembali. Di luar itu semua semu, tidak hakiki... Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya...”
Ia mengelus bahu saya, membuat saya tiba-tiba teringat abah.

Di pesawat seusai take off, saya melempar pandangan keluar jendela ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, bertimbun-timbun bagai permadani putih. Semua manusia sungguh semata hanya sedang menunggu giliran dijemput maut. Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada pengaruhnya bagi jagat raya ini. Kita hanya sebutir debu... di dalam jagat raya ini.

Sudah selesai membacanya :-) mari kita belajar  dari kisah tadi...

via jasa karikatur online.com
  • Bekali anak-anak kita dengan ilmu terutama ilmu agama dan akhlak merupakan pondasi yang kuat , agar tiada penyesalan di hari tua nanti. Karena harta dijaga pemiliknya, ilmu menjaga pemiliknya. (Ali bin Abi Thalib)
  • Harta melimpah, kedudukan dan jabatan tak menjamin kebahagiaan. Karena kebahagiaan hakiki itu bila ada Allah di dalam hati dan bersama dengan orang-orang yang kita sayangi, percuma punya rumah mewah tapi hidup sebatang kara.

  • Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik, selama nafas masih berhembus. Mari siapkan bekal yang baik untuk kepulangan kita nanti.

  •  Jangan mati-matian mengejar jabatan, karena jabatan tak kan dibawa mati. Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. (Gus Dur)

  • Semua manusia di dunia ini sungguh hanya sedang menunggu giliran, giliran dijemput maut.

  •  Sangkan Paraning Dumadi, kita dituntut untuk memahami dari mana kita berasal, dan hendak kemana kita akhirnya.

  • Janganlah sombong, karena manusia tiada nilainya, tak lebih hanya sebutir debu dalam jagad raya ini.

Semoga renungan malam ini dapat mengetuk hati sanubari, memotivasi untuk terus memperbaiki diri, semakin rajin menggali ilmu-ilmuNya Allah, dan dapat  melatih kerendahan hati.

Semoga bermanfaat

Saran dan kritik selalu di nanti, demi perbaikan tulisan ke depannya nanti.

Cahaya Fitria #30DWC18, 03 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar